ARTICLE AD BOX
Setiap akhir pekan, bunyi langkah kaki memenuhi lorong-lorong berpendingin udara di pusat perbelanjaan. Di antara etalase busana nan tertata rapi dan gemerlap lampu toko kosmetik, banyak wajah-wajah bekerlapan nan datang berombongan. Ada nan membawa stroller bayi, ada pula nan bersandar santuy sembari menggenggam segelas es kopi. Tapi anehnya, banyak dari mereka tak terlihat membawa kantong belanjaan. Sebagian besar hanya menatap barang-barang dengan penuh minat, lampau beranjak pergi. Bukan lantaran tidak suka, tapi lantaran memilih kelak dulu alias mendingan tidak beli. Di sinilah lahir istilah baru dari masyarakat urban, rohana dan rojali.
Rohana adalah singkatan dari ‘rombongan hanya nanya’, sedangkan rojali berfaedah ‘rombongan jarang beli’. Keduanya menggambarkan perilaku masyarakat nan rutin datang ke mal, tapi lebih banyak melihat-lihat daripada betul-betul membeli. Mereka bukan tak mampu, sebagian justru berasal dari kelas menengah ke atas. Tapi kondisi ekonomi dan perubahan pola konsumsi membikin mall tak lagi jadi tempat shopping utama, melainkan tempat rekreasi gratis, ruang pendingin kota, dan simbol eksistensi sosial nan tetap bisa dijangkau meski dompet menipis.
Salah satu dari mereka adalah Eka Dwi Lestari, ibu dua anak nan tinggal di Depok. Ia dan keluarganya sudah mempunyai ritual unik tiap Sabtu: berangkat ke mall dekat rumah, biasanya Margo City alias Depok Town Square, sekadar cuci mata dan beli jajanan ringan.
“Aku tuh senang lihat-lihat, terutama bagian home living. Tapi terus terang, buat beli peralatan besar, saya biasanya bandingin dulu di online. Beberapa kali nemu peralatan nan sama, apalagi potongan nilai di mall pun tetap kalah sama nilai di e-commerce,” tutur Eka, wanita berumur 35 tahun ini kepada detikX.
Ia pernah tergoda membeli busana di salah satu tenant ternama lantaran ada tulisan potongan nilai spesial. Tapi saat usil mengecek nilai online, rupanya selisihnya nyaris seratus ribu lebih murah. “Jadi ya saya nggak jadi beli. Di rumah tinggal klik, tunggu dua hari, nyampe juga,” katanya. Meski tidak belanja, Eka tetap mengunjungi mal nyaris di setiap akhir pekan. “Soalnya anak-anak pada seneng, ada tempat main dan adem juga.”
Pengalaman serupa dialami oleh Wahyu Ramadhan, pegawai swasta nan tinggal di area Bekasi. Laki-laki berumur 29 tahun ini dan pacarnya sering mengunjungi Summarecon Mall Bekasi di malam minggu. Tujuannya sederhana, ngopi, ngobrol, nonton lampau pulang, sedangkan shopping sangat jarang.
“Aku sih suka lihat-lihat sepatu, baju, kadang gadget. Tapi jujur aja, sekarang saya lebih nahan beli. Income nggak naik-naik, nilai peralatan makin tinggi. Beli baju baru sekarang mikir banget. nan krusial tetap punya nan layak pakai,” katanya.
Wahyu mengakui, dulu dia cukup konsumtif. Tapi sejak pandemi dan ditambah beban cicilan, style hidupnya berubah total. Kini dia menjadi tipikal rojali, ada di mall, tapi hanya ‘window shopping’.
“Aku inget banget pas awal tahun, pengin beli sepatu kerja. Liat di mall bagus banget, udah potongan nilai 20 %. Tapi pas saya cek di marketplace, rupanya lebih murah dan bisa angsuran tanpa bunga. Ya sudah, akhirnya beli online,” ujarnya.
Fenomena semacam ini bukan hanya cerita personal. Ia telah berubah menjadi cermin sosial nan merefleksikan kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja, jumlah kunjungan ke mall memang naik. Tapi omzet ritel justru menurun drastis. “Kalau nan di kelas menengah atas, penyebabnya lantaran mereka lebih hati-hati dalam berbelanja. Sedangkan nan menengah bawah, lantaran daya beli mereka memang turun,” ujarnya.
Sebagian masyarakat memandang jalan-jalan ke mall sebagai pelipur lara. Udara dingin, pencahayaan cantik, etalase mewah, dan secangkir kopi kekinian bisa jadi corak self-reward murah nan tak menuntut transaksi besar. Mall menjadi semacam ruang publik baru, tempat orang tetap bisa merasa hidup meski hidupnya sedang tidak baik-baik saja.
Sementara Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menyoroti langsung tren masyarakat nan lebih banyak jalan-jalan daripada beli sesuatu. “Rojali dan Rohana ini kan konsep lebih ke daya beli. Karena di ritel sendiri, para pelaku ritel kami merasakan adanya penurunan demand, itu terasa sekali,” kata Shinta.
Tapi menariknya, meski masyarakat makin irit, untuk hal-halekstra” seperti konser alias event olahraga, mereka tetap rela keluar duit besar. Hal ini nan disebut oleh Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani sebagai bagian dari lipstick index.
“Kita itu punya lipstick index. Itu artinya memang konsumsi mereka secara umum menurun, tapi jika ada kebutuhan-kebutuhan ekstra, misalnya jika kita nonton bola itu selalu penuh. Kalau ada konser-konser, kita tiket war aja biasanya kehabisan,” ujar Ajib.
Artinya, bukan semata daya beli nan lesu. Tapi selektivitas dan prioritas konsumen nan berubah. Mereka menunda shopping baju, tapi tetap beli tiket konser Blackpink. Tidak beli blender baru, tapi booking staycation di puncak saat long weekend. Ada kompromi sosial nan terjadi, tetap tampil gaya, tetap eksis, tapi duit dijaga agar tidak jebol.
Belakangan, para pelaku upaya mulai mendorong transformasi dari Rojali-Rohana menjadi Robeli, akronim dari ‘rombongan betul-betul beli’. Ketua Bidang Perdagangan APINDO, Anne Patricia Sutanto, menjelaskan pentingnya daya saing agar masyarakat punya kekuatan konsumsi riil.
“Plus jika kita berkekuatan saing otomatis investasi nan ada bertumbuh, tidak berkurang dan investasi nan ada bisa memberikan buying power. Jadi istilah Rohana, Rojali, itu tidak menjadi Rohana Rojali, tapi bener-bener Robeli, bener-bener dibeli,” katanya dalam konvensi pers di Jakarta.
Namun untuk mewujudkan Robeli, dibutuhkan lebih dari sekadar niat. Menurut Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budiharjo Iduansjah, diperlukan keberpihakan izin pada ritel offline agar bisa bersaing dengan toko online.
“Kalau nan online bisa masuk peralatan tanpa banyak izin, nan di mall kudu ajukan Pertek, neraca komoditas, segala macam. Belum lagi soal PPN. nan di mall bayar 11 persen, nan online juga harusnya gitu. Kalau nggak, nggak adil,” tegas Budiharjo.
Ia juga menyebut bahwa kejadian rojali bukan sekadar soal miskin daya beli. Banyak dari mereka justru berbelanja di luar negeri. “Belanjanya di Malaysia, di Hongkong, di Singapura. Jadi Rojali itu bukan hanya masalah daya beli saja,” tambahnya.
Hingga sekarang sinyal peningkatan daya beli nasional belum terasa. nan nyata justru info dari Badan Pusat Statistik (BPS), nan menunjukkan konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2025 hanya tumbuh 4,89 persen. Angka itu lebih rendah dibanding kuartal I-2024 nan sebesar 4,91 persen maupun kuartal IV-2024 nan sebesar 4,98 persen (year-on-year). Padahal saat pandemi, konsumsi apalagi bisa tumbuh di atas 5,4 persen. Kini, perlambatan terasa jelas dan rohana serta rojali adalah wajah nyata dari statistik itu di lapangan.