Taktis Menghadapi Kekacauan Mekanisme Perdagangan Dunia

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Dari ketidakpastian dieskalasi menjadi ketidakteraturan. Seperti itulah wajah bumi hari-hari ini. Indonesia, berbareng semua negara, sedang dipaksa untuk realistis menghadapi realita tidak menyenangkan, lantaran suasana dan sistem perdagangan bumi sedang didorong untuk bergerak dari keteraturan menuju kekacauan.

Setelah 78 tahun suasana perdagangan dunia kondusif berkah kehendak baik ratusan negara melaksanakan kesepakatan tentang norma-norma perdagangan antar-negara, hari-hari ini, kondusifitas itu nyaris berantakan. Antara ingkar alias tidak memahami prinsip dan hakekat saling ketergantungan (interdependensi) ekonomi antar-negara, Amerika Serikat (AS) mengintimidasi semua mitra dagangnya untuk menuruti kemauannya, dengan meningkatkan bea masuk produk impor pada skala nan ekstrim.

Tidak sekadar intimidasi dan menghina, AS pun menciptakan ketidakpastian di tengah ketidakteraturan itu. Setelah mengumumkan pembebanan bea masuk nan baru, AS kemudian menunda tarif bea masuk resiprokal itu selama 90 hari, setelah terlebih dulu menurunkannya menjadi 10 persen kepada puluhan negara, termasuk Indonesia. Tiongkok sebagai rival jual beli utama AS, tidak menerima penurunan bea masuk dan penundaan itu. Sebaliknya, perang tarif kedua negara terus tereskalasi.

Gagal mengintimidasi Tiongkok, AS meningkatkan pembebanan bea masuk produk impor dari Tiongkok menjadi 145 persen, nan kemudian dibalas Beijing dengan membebani bea masuk produk Impor AS ke Tiongkok sebesar 125 persen. Kalau Tiongkok terus melawan, puluhan negara lainnya menerima opsi negosiasi nan memang dikehendaki AS. Karena itu, ada penundaan 90 hari bagi pemberlakuan bea masuk resiprokal nan ditetapkan AS. Seperti itulah gambaran tentang ketidakteraturan pada sektor perdagangan dunia saat ini, dan AS dilihat serta dinilai sebagai pihak nan merusak tatanan.

Di tengah tatanan nan mulai rusak itu, Indonesia memilih opsi berkompromi dengan AS guna menghindari pembebanan tarif bea masuk nan tinggi untuk produk ekspor. Pilihan sikap nan kooperatif seperti ini wajar lantaran Indonesia butuh pasar untuk menjual hasil produk dalam negeri. Selama ini, ekspor Indonesia ke pasar AS meliputi mesin, peralatan listrik, produk garmen, lemak, minyak nabati hingga dasar kaki, dengan nilai ekspor pada kisaran plus-minus 23 miliar dolar AS per tahun.

Belakangan ini, hubungan jual beli Indonesia-AS diwarnai masalah lantaran pemerintah RI telah bersikap tegas dengan melarang penjualan produk Apple dari AS, IPhone 16, di pasar dalam negeri. Larangan ini diberlakukan lantaran Apple belum memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Boleh jadi, aspek IPhone 16 bakal dijadikan salah satu materi tawar-menawar di antara ahli runding kedua negara. Tentu saja tim negosiator Indonesia diharapkan taktis dengan lebih mengedepankan kepentingan nasional.

Salah satu tanggungjawab negara saat ini adalah upaya memulihkan kekuatan upaya mikro, mini dan menengah (UMKM). Pemerintah sudah memulai upaya itu dengan menghapus angsuran macet jutaan pelaku UMKM. Kepentingan nasional nan satu ini sangat strategis. Karena itu, hasil perundingan dengan AS tentang bea masuk produk ekspor Indonesia jangan sampai mereduksi upaya berbareng memulihkan UMKM di dalam negeri.

Dalam konteks perlunya merawat semua pasar nan menjadi tujuan produk ekspor Indonesia, negosiasi dengan AS untuk tarif bea masuk nan moderat adalah keniscayaan. Namun, Indonesia juga perlu mencermati munculnya sentimen dan inisiatif untuk membangun kerja sama perdagangan nan baru. Tiongkok, misalnya, sudah terang-terangan membujuk Uni Eropa (UE) untuk melakukan penguatan kerja sama ekonomi dan perdagangan. Kalau rayuan Tiongkok ini bisa direalisasikan, bisa saja berkembang menjadi inisiatif pembentukan blok jual beli baru tanpa melibatkan AS.

Sebelum AS memaksakan tarif bea masuk resiprokal-nya itu, suasana dan sistem perdagangan dunia terbilang kondusif, walaupun selalu ada kebenaran tentang sengketa jual beli nan melibatkan sejumlah negara. Namun, sengketa jual beli itu tidak menimbulkan kekacauan. Contoh kasusnya adalah sengketa jual beli Indonesia melawan UE untuk produk minyak sawit. Kondusifitas perdagangan bumi bisa terwujud lantaran ratusan negara selalu menunjukan kehendak baik untuk menaati patokan main nan disepakati dan dirumuskan dalam World Trade Organization (WTO).

Kekacauan sekarang terjadi lantaran AS tidak membawa alias mengadukan kerugiannya ke Badan Penyelesaian Sengketa alias DSB (Dispute Settlement Body) di WTO. AS hanya menuduh UE dan Tiongkok menerapkan perdagangan tidak fair, nan menyebabkan AS defisit sementara baik UE maupun Tiongkok menikmati surplus besar dalam hubungan jual beli dengan AS.

Kondusifitas perdagangan bumi sudah terwujud dan berjalan selama 78 tahun sejak disepakatinya Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan alias GATT (General Agreement on tariffs and Trade). GATT disepakati di Jenewa, Swiss, pada 30 Oktober 1947. Awalnya ditandatangani 23 negara, keanggotaan GATT berkembang menjadi lebih dari 128 negara pada 1994. Tahun 1995, GATT berubah menjadi WTO dengan jumlah personil 166 negara per 30 Agustus 2024.

Kesepakatan dunia tentang GATT alias WTO dilandasi kesadaran berbareng tentang kebenaran saling ketergantungan antar-negara di bagian ekonomi. Saling ketergantungan itu kudu dikelola dengan kebijaksanaan berbareng agar terwujud suasana dan sistem perdagangan bumi nan bebas, setara dan aman. Menyepakati patokan main dalam WTO pada gilirannya memperlancar arus peralatan dan jasa demi kesejahteraan semua orang di muka bumi ini. Dan, berkah patokan main WTO, sikap dan kebijakan proteksionis banyak negara tereliminasi.

Jika AS hari-hari ini mengintimidasi semua mitra dagangnya dengan ancaman tarif bea masuk nan tinggi, kesan nan muncul bukan hanya rusaknya tatanan perdagangan dunia. AS pun sepertinya sedang mengingkari prinsip dan semangat saling ketergantungan antar-negara di bagian ekonomi. Kalau banyak negara lain juga mengikuti langkah Tiongkok dengan menolak semua produk AS, perekonomian AS pun tentu bakal menerima akibat nan sangat serius.

Logika dan kebenaran tentang keniscayaan saling ketergantungan ekonomi antar-negara itu bakal memaksa AS, sigap alias lambat, mengoreksi kebijakan perdagangan nan ekstrim. Kalau tidak segera mengakhiri perang tarif, AS bisa terisolasi dari dinamika perdagangan antar-negara.

Bambang Soesatyo, Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN)

(ega/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini