Retret, Puasa, Dan Pemimpin Sejati

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Ruang publik nan riuh dengan percakapan tentang beragam hal, terkadang menyisakan lampau lintas info dan persepsi nan saling berbenturan. Mereka nan saling "berbincang", mungkin tidak pernah berjumpa dan bertatap muka satu sama lain. Mereka nan saling berseberangan hingga bermusuhan, apalagi tidak pernah mengenal isi kepala dan pikiran masing-masing.

Dalam bumi nan terlipat oleh segenggam dan seperangkat gawai, manusia hidup dengan identitas nan random dan terfragmentasi. nan terdengar hanyalah suara, nan terlihat hanyalah figur. Dalam konteks politik, susah menemukan kesejatian lakon dan peran, lebih dari sekadar retorika dan pemoles citra. Mereka nan ditunjuk langsung sebagai pengabdi ataupun lahir dari kontestasi, adalah manusia-manusia nan datang dari lampau lintas info dan persepsi. Tanpa tagihan komitmen dan konsistensi, kepentingan rakyat bakal rentan tergadai.

Menyamakan Visi

Boleh jadi, dugaan dan kejadian itulah nan dirasakan oleh Presiden Prabowo Subianto tatkala mulai mentradisikan retret dalam mengawali keahlian pemerintahannya. Momentum kontestasi nan dilalui dengan perjumpaan, keramaian dan kompetisi, tidak hanya melahirkan pilihan, tapi juga kalah dan menang. Sebagiannya apalagi menyisakan permusuhan dan dendam.

Meski dalam satu kabinet nan bertakjuk Merah Putih, para pejabat nan ditunjuk bisa mempunyai latar belakang visi dan motivasi nan berbeda-beda. Meski dalam satu gedung NKRI, para kepala wilayah nan terpilih bisa saja mempunyai misi dan paradigma nan beraneka warna. Oleh lantaran itu, siapapun nan ditunjuk dan terpilih, bakal mengemban amanah kebangsaan, keindonesiaan, dan kerakyatan. Loyalitas kepada kelompok, golongan, dan kepentingan tidak lagi berlaku, saat janji dan kesetiaan kepada rakyat sedang dinanti dan ditagih.

Namun, argumen moral itu tidak mudah dicerna oleh mereka nan terbiasa larut dalam kontestasi. Kompetisi terkadang meluruhkan kebersamaan nan sesungguhnya, untuk kepentingan nan pragmatis dan sempit. Sesama anak bangsa tampak hanya sekumpulan objek pemilih nan dimobilisasi. Setelahnya, mereka ditempatkan di ruang tribun terjauh sebagai penonton nan cukup menyaksikan tindakan kekuasaan dengan segala lakon dan manuvernya.

Pada gilirannya, rakyat nan sejak awal menjadi menjadi penonton, kembali menjadi penonton. Mereka nan sebelumnya ramai berkumpul di arena-arena publik, sembari meneriakkan yel-yel dukungan, kembali ke kehidupan dengan menyisakan kegelisahan. "Mungkinkah angan mereka terwujud?" Apakah momen perjumpaan massal selama ini hanyalah perjumpaan antarmanusia nan kering dan sunyi makna?

Lakon politik tidak pernah lepas dari keramaian. Bukan hanya tentang hilir-mudik orang nan berkecimpung di dalamnya, tapi juga buahpikiran dan pendapat nan seringkali mewujud dalam huru-hara wacana. Dalam keramaian, identitas dan jati diri seringkali luput dari perbincangan. Keduanya larut dan lirih dalam tekanan bunyi nan nyaring dan lantang.

Akibatnya, keramaian tidak lagi bisa memisahkan kesejatian dan kesemuan. Suara rakyat susah dibedakan dengan bunyi golongan dan kepentingan. Ide dan pendapat pun susah dibedakan dengan sekadar "jualan". Semuanya menjadi sumir dan samar dalam satu gelanggang bising nan mengatasnamakan "rakyat".

Retret memang tidak bisa mengubah dan mengembalikan keramaian menjadi keheningan dalam sekejap mata. Tapi retret memberi insipirasi tentang pentingnya kembali memikirkan identitas dan jati diri. Sebagai pemangku kedudukan publik, baik ditunjuk oleh presiden maupun dipilih rakyat, kesemuanya mengemban amanah rakyat.

Meski argumen itu terasa lebih nikmat didengar daripada dijalankan, namun melalui momen-momen retret bakal tercipta ruang-ruang "kesendirian" dan "keheningan", di mana para pejabat publik memikirkan dirinya, ataupun saling berbincang dengan sesamanya, tentang visi dan langkah sebagai pengemban amanah.

Para pejabat publik memerlukan momentum reflektif untuk sejenak memisahkan diri dari perjumpaan massa dan keramaian para pendukung. Dalam suasana itu, nan terdengar hanyalah bunyi nurani nan bebas dan lepas dari beragam kepentingan diri, golongan dan golongan nan mengitarinya. Nurani itulah nan bakal menuntunnya pada kesejatian peran sebagai penyambung lidah rakyat nan tidak keluh saat berhadapan dengan kepentingan apapun selain kepentingan rakyat.

Penyadaran Diri

Tradisi retret sesungguhnya mengingatkan tentang ritualitas puasa nan dijalani sebulan penuh. Puasa, nan berfaedah "menahan" diri dari perbuatan-perbuatan nan lazim dilakukan, adalah bagian dari lakon keheningan. Betapa tidak, keramaian selalu diisi dengan aktivitas konsumtif, sementara makanan dan minuman adalah produk konsumtif nan paling "mendasar". Tanpa keduanya, biasanya keramaian susah terlaksana.

Puasa menyajikan realitas simbolik bahwa dengan keahlian untuk menahan diri dari mengonsumsi ihwal nan paling "mendasar" bakal membikin orang nan berpuasa terbiasa dengan mengendalikan banyak perihal nan justru tidak lagi "mendasar" untuk dipenuhi. Sebulan penuh, mereka nan berpuasa berada dalam retret, mengendalikan keramaian sebagai akibat dari kebiasaan konsumtif, sembari mengintrospeksi diri tentang seperti apa masa depan setelah puasa bakal dilalui.

Berkaca dari perspektif puasa, keharusan mendasar para pejabat publik adalah memenuhi kepentingan rakyat. Mereka kudu bisa meletakkan kepentingan itu di atas kebutuhan apapun nan tidak mendasar untuk dipenuhi. Mereka dituntut untuk menahan dan mengendalikan diri dari beragam bujukan konsumtif nan mencederai kepentingan rakyat.

Puasa dan retret adalah madrasah (sekolah) kemanusiaan nan bermaksud memantik kesadaran. Karena itu, keduanya meniscayakan ruang-ruang untuk "menyendiri" dan merefleksi diri tentang prinsip dan keberadaan sebagaimana manusia dan sebagai pengemban amanah. Dengan memahami sepenuhnya tentang peran dan tanggung jawab, maka siapapun nan keluar dari kedua momen itu, bakal terlahir sebagai manusia nan menyadari jati dirinya sebagai manusia nan mengemban amanah sebagai manusia sekaligus pemimpin atas sesamanya.

Adlan Nawawi pengajar Program Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu