ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Ramadan 2025 ini, Amina Elzaanin menyimpan kangen nan teramat dalam.
Nyaris setiap hari selama nyaris sebulan berpuasa, wanita Palestina ini menghabiskan sahur dan berbuka puasa seorang diri di bilik kosnya di Jakarta.
Di atas meja makan mungil bilik kosnya, sudah terhidang seporsi Fattah Ghazawi, makanan unik Gaza berupa nasi dari beras basmati dengan rempah ditumpuk daging dan kacang-kacangan, serta taburan daun parsley nan dia masak sendiri.
Saat tetap di Gaza, menu ini adalah favorit keluarganya, terutama saat berbuka. Sambil berbual dan berganti cerita, semua berkumpul dan menikmati Fattah bersama.
Dokumentasi Amina Fattah Ghazawi, hidangan favorit family Amina untuk berbuka puasa.
Amina sudah lima tahun ini berada di Indonesia untuk menyelesaikan pendidikan. Artinya, sudah beberapa kali dia merasakan Ramadan sendirian dan jauh dari rumah.
Tapi tahun ini, dengan perang nan terus berkecamuk di Gaza, sepinya bulan puasa terasa menggigit.
Pikirannya tak bisa lepas dari Beit Hanounkampung halamannyasebuah kota di timur laut Jalur Gaza. Di sana, orang tua dan sejumlah kerabatnya tinggal.
"Kadang ketika berbuka, saya menangis sembari bermohon agar kelak family kami bisa berkumpul kembali," kata Amina kepada BBC News Indonesia, awal Maret lalu.
BBC
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah nan pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WA Anda.
BBC
Serangan Israel pada Oktober 2023 lampau menghancurkan Beit Hanoun.
Beberapa pekan setelah kejadian itu, Amina mengaku tak tenang. Terlebih, kata dia, saat itu dia tak bisa menghubungi satu pun keluarganya.
"Saya tidak tahu apakah family saya tetap hidup alias tidak," ujarnya. "Setiap kali tidur, saya selalu terbangun, bermimpi kehilangan family saya."
Belakangan, dia mengetahui beberapa sepupunya tewas akibat serangan Israel. Namun ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya selamat.
"Kalau saya bisa berjumpa mereka, saya tidak bakal pernah lepaskan mereka lagi," mata wanita 31 tahun ini berkaca-kaca.
Kini, sembari menunggu waktu berbuka puasa, Amina hanya bisa menatap hidangan Fattah Ghazawi di hadapannya.
Makanan ini menjadi satu-satunya pengingat masa senang berbareng keluarganya, kenangan nan dia tak tahu kapan bisa terulang kembali.
'Jangan pulang, tak ada lagi kehidupan'
Amina pertama kali tiba di Indonesia pada 2019, setelah menerima danasiwa S2 Ilmu Manajemen dari Universitas Lampung.
Lulus pada 2021, dia kembali menerima danasiwa di bagian studi sama pada 2023, kali ini dari Universitas Airlangga untuk program S3.
Jeda perkuliahan mengizinkan Amina pulang sejenak ke Palestina pada September 2023, hanya beberapa pekan sebelum perang terbaru pecah.
Dia tetap ingat memandang hamparan pohon buah dan sayur di ladang milik keluarganya dari loteng rumahnya nan teduh, sembari memetik anggur hijau ranum langsung dari pohonnya nan merambat di genting kanopi.
"Beit Hanoun itu elok sekali. Kota nan subur bakal buah-buahan, jeruk dan lemon," kata Amina.
Dokumentasi AminaKiri: Pemandangan dari loteng rumah Amina dengan rambatan pohon anggur. Kanan: Amina memanen hasil kebun pada September tahun lalu.
Dia tak menyangka, momen itu bisa jadi terakhir kali dia menginjakkan kaki di kampung halamannya.
Tepat dua pekan setelah itu, saat Amina sudah kembali ke Indonesia, banyak wilayah Gaza hancur lantaran serangan udara Israel.
Amina hanya bisa mengikuti perkembangan dari pemberitaan. Ia mencoba menghubungi keluarganya, tapi selalu gagal.
Empat bulan kemudian, dengan support kerabat nan selamat, Amina sukses berbincang dengan ayahnya melalui sambungan telepon meski terputus-putus.
"Baba bercerita dia menjadi relawan untuk mengemudikan ambulans," kata dia. 'Baba' adalah panggilan Amina untuk ayahnya.
- Peta Palestina nan belum pernah terungkap menjanjikan perdamaian di Timur Tengah
- Trump berencana ambil alih Gaza dan pindahkan penduduk Palestina, apa rencana bumi Arab untuk membangun kembali Gaza?
- Kenapa negara-negara Arab tidak mendukung Palestina?
Saat itu, ibu dan kakaknya terpisah dari sang ayah. Tak ada nan tahu di mana mereka, tetap hidup alias sudah meninggal dunia.
Sementara itu, tujuh sepupunya tewas dalam serangan Israel.
Jika sinyal sedang bagus, ayah dan kerabatnya nan lain bisa mengirim foto dan video kondisi mereka di Gaza.
Dalam salah satu video nan dikirimkan, tampak rumahnya nan berjarak sekitar dua kilometer dari perbatasan Palestina dan Israel, luluh lantak.
Tidak hanya rumahnya, nyaris seluruh kota rata dengan tanah. Tidak ada lagi Beit Hanoun nan hijau seperti dalam memori Amina.
"Tidak ada satu gedung pun nan utuh berdiri," ungkap Amina.
Ayah Amina menatap rumahnya nan hancur akibat serangan Israel. (Dokumentasi family Amina)
Beberapa bulan setelahnya, Amina menerima berita Baba terkena stroke. Jika Rafah dibuka kembali di masa gencatan senjata, Amina berkeinginan pulang.
"Saya mau ke Gaza, mau merawat Baba," dia menyampaikan niatnya kepada sang ayah. Tapi, lanjutnya, Baba melarang.
"Katanya, di Gaza sudah tidak ada lagi kehidupan. Semuanya sudah hancur."
Terbaru, Israel melakukan "serangan besar-besaran" ke Jalur Gaza pada 18 Maret 2025. Laporan Reuters menyebut Gaza tengah, Kota Gaza, Khan Younis dan Rafah menjadi target.
Per Rabu (19/03), lebih dari 400 orang dilaporkan meninggal bumi dalam serangan itu, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.
Ini merupakan gelombang serangan udara terbesar ke Gaza setelah gencatan senjata nan dimulai pada 19 Januari lalu. Hingga sekarang, pembicaraan untuk memperpanjang masa gencatan senjata kandas mencapai kesepakatan.
Satu kilo ayam Rp207 ribu
Gencatan senjata pada pertengahan Januari lampau memungkinkan penduduk Gaza mencari family mereka nan terpisah-pisah.
Kakak Amina, nan dia kira sudah meninggal dunia, akhirnya bisa berkumpul dengan ibunya di sebuah kamp pengungsian di Gaza Utara.
Sementara, ayahnya sekarang berada di kamp pengungsian lain di Kota Gaza.
Sinyal nan tak stabil membikin Amina tak bisa setiap saat berbincang dengan keluarganya melalui telepon.
Jika sedang beruntung, dalam sebulan dia bisa terkoneksi hingga tiga alias empat kali, selebihnya tak ada nada sambung.
Seperti di siang hari pada 6 Maret lalu. Dua kali dia menekan nomor Baba dan ibunya di ponsel, tapi tak tersambung. Setelah beberapa kali mencoba, Amina sukses menelepon kakaknya.
"Apa ada bahan makanan nan bisa masuk ke Gaza dan kalian bisa beli?" dia bertanya.
"Semua nilai mahal. Satu kilogram ayam harganya 45 shekel [senilai Rp207.000]," bunyi sang kakak terdengar datar dan tenang.
Sepekan ini pintu masuk support sudah ditutup, kata sang kakak. Belum ada lima menit berbincang, sambungan lenyap dan telepon terputus.
Dawoud Abo Alkas/Anadolu via Getty ImagesSuasana pasar di Kota Gaza, 9 Maret 2025.
Gencatan senjata tahap pertama nan dimulai pada 19 Januari 2025 telah berhujung pada 1 Maret lalu.
Sehari setelahnya, Israel menutup support masuk ke wilayah Gaza, menyebabkan stok bahan makanan sedikit dan harganya melambung.
Amina berkata, nilai barang-barang di Gaza naik hingga tiga kali lipat selama setahun terakhir.
Dari Indonesia, Amina mengaku sebisa mungkin membantu mengirim duit untuk biaya hidup keluarganya di Gaza.
Bersama jejaring penduduk Palestina nan mengungsi di Turki dan Mesir, dia memasarkan busana berrmotif sulam unik Palestina nan disebut tatreez ke Indonesia.
"Para ibu Palestina di Turki dan Mesir nan membuatnya, lampau dikirim ke Indonesia. Hanya beberapa helai, lantaran pengerjaannya memerlukan waktu berbulan-bulan," tutur Amina.
Ramadan di Gaza, amanah orang tua
Tak jauh dari kampung laman Amina, tepatnya di Beit Lahiya, Marissa Noriti, 42 tahun, melepas capek di Wisma Dokter Joserizal Jurnalis.
Bangunan nan terletak dekat dengan Rumah Sakit Indonesia di Gaza ini menjadi tempat rehat para relawan, termasuk Marissa nan menjadi bagian dari tim MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) asal Indonesia.
Dinding gedung itu ditambal semen sana-sini, menutup jejak lubang peluru tentara Israel. Plafon wisma itu jebol, tapi bangunannya relatif tetap utuh dan layak ditempati.
Ini merupakan Ramadan kedua Marissa di Gaza.
MER-C IndonesiaMarissa (berjilbab cokelat) berbareng tim MER-C membagikan makanan kepada penduduk Gaza.
Tahun lalu, Marissa bekerja di Rafahperbatasan Jalur Gaza dengan Mesirdalam situasi nan disebutnya "sangat panas".
"Pada malam hari, sering terjadi serangan Israel. Warga Gaza apalagi tidak bisa sekadar berkumpul untuk salat berjamaah," dia mengenang.
Di awal Ramadan ini, sebelum serangan terbaru Israel pada 18 Maret, Marissa mengatakan situasi membaik dibandingkan tahun lalu.
"Setidaknya, kami bisa berbuka puasa dan salat tarawih berbareng di masjid," ujarnya kepada BBC News Indonesia saat berbincang melalui telepon pada 11 Maret lalu.
Warga juga mulai kembali ke reruntuhan gedung rumah mereka, alias tinggal di tenda-tenda dan berkumpul dengan family mereka nan tetap hidup.
Ali Jadallah/Anadolu via Getty ImagesWarga Gaza berbuka berbareng di Beit Lahiya, Gaza Utara.
Dua kali menjalani Ramadan di Gaza, Marissa mengaku kenangan menjalani ibadah puasa di Indonesia berbareng keluarganya selalu berkelebat.
Namun setiap kali pula, wejangan dari ibunya untuk "membantu kerabat kita di Gaza" menguatkannya.
"Bagi saya, menjalani Ramadan di Gaza merupakan corak pengabdian saya kepada orang tua," tutur Marissa.
Dokumentasi family MarrissaMarissa berbaju merah, "Ibu berpesan, tolong bantu kerabat kita di Gaza."
Dari Beit Lahiya, dia memandang gemerlap lampu nan begitu terang dari Israelsangat kontras dengan malam Gaza nan gelap gulita. Marissa terdiam sejenak.
"Kadang kita tidak bisa berbaikan dengan situasi, mempertanyakan kenapa semua ini terjadi [di Gaza]. Tapi akhirnya saya bisa memposisikan diri sebagai manusia nan penuh keterbatasan, dan Allah SWT nan punya kuasa."
MER-C IndonesiaMarissa memeriksa kondisi Rumah Sakit Indonesia di Gaza, sesaat setelah serangan Israel pada 18 Maret 2025.
BBC News Indonesia berbincang lagi dengan Marissa pada Selasa (18/03) petang, beberapa jam setelah serangan Israel.
Marissa menuturkan, sekitar pukul 02.00 waktu Gaza, ketika dia berbareng rekan-rekannya menyiapkan sahur, puluhan dentuman menggetarkan tembok gedung tempatnya berlindung.
"Kami hanya sempat sahur air putih, lampau bergegas ke Rumah Sakit Indonesia," ungkap Marissa.
Rumah sakit nan tetap dalam perbaikan itu dipenuhi warga. Ambulans berdatangan, membawa orang-orang nan terluka dan meninggal dunia.
Baca juga:
- Bermalam di ruang bawah tanah, 'relawan Indonesia di Gaza belum tentu kondusif dari serangan Israel'
- Cerita WNI di Gaza memperkuat di tengah saling serang Hamas-Israel: 'Menakutkan, sangat mencekam, di luar sana tetap dihujani rudal'
- Kesaksian master RS Indonesia di Gaza, dari bekerja dengan obor mini sampai menangani korban 'senjata baru'
Dalam dua jam, Rumah Sakit Indonesia menerima 18 jenazah dan merawat 59 pasien luka-luka, kata Marissa.
Marissa berambisi ada tekanan bumi internasional agar serangan tidak meningkat dan Israel kembali pada perjanjian gencatan senjata.
"Kami di sini meminta angan dari family dan masyarakat Indonesia agar bisa terus membantu penduduk Gaza, Palestina," ujarnya.
'Walau hancur, ini rumah saya'
Seperti kisah Marissa, pada Selasa (18/03) awal hari kemarin, sebagian besar penduduk Gaza tengah menyantap sahur ketika bunyi ledakan tiba-tiba terdengar.
Lebih dari 20 pesawat perang Israel terbang di langit Gaza, memuntahkan tembakan dalam serangan udara. Mereka menuntut Hamas "melepaskan semua sandera" Israel.
Hamas menuduh Israel berkhianat lantaran membatalkan kesepakatan gencatan senjata, dan meminta para mediator serta Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menengahi.
Doaa Albaz/Anadolu via Getty ImagesSeorang peremuan menangisi jenazah kerabatnya nan meninggal bumi akibat serangan Israel nan menyasar sejumlah wilayah di Jalur Gaza.
Dari Indonesia, Amina hanya bisa mengikuti perkembangan terbaru melalui berita, sembari menanti berita dari ayah, ibu, alias kakaknya.
Hingga Rabu (19/03) siang, Amina tetap belum bisa menghubungi satu pun keluarganya.
Dia pun tak bisa membayangkan, kerusakan seperti apa nan kudu ditanggung Gaza setelah serangan terbaru ini nantinya.
Per awal Maret ini saja, PBB memperkirakan lebih dari 60% rumahsekitar 292.000 bangunandan 65% jalanan Gaza telah hancur.
Untuk membersihkan lebih dari 50 juta ton reruntuhan gedung di Gaza, PBB memperkirakan butuh waktu 21 tahun dengan biaya hingga $1,2 miliar alias senilai lebih dari Rp19 triliun.
Menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa(UNDP), akibat perang telah menyebabkan kemunduran pembangunan di Gaza, setara dengan 69 tahun ke belakang.
Meski begitu, semangat Amina untuk pulang ke Beit Hanoun tak pernah surut.
Dokumentasi family AminaFoto sebelah kiri adalah ayah Amina, sementara foto sebelah kanan adalah potret family Amina nan diambil pada pertengahan 90an.
"Walau hidup susah di Gaza, saya mau lihat rumah saya nan hancur. Saya mau tempati kembali berbareng keluarga," ungkapnya.
Selama lima tahun tinggal di Indonesia, Amina mengaku diperlakukan dengan baik oleh semua orang di sini sehingga dia betah.
Tapi, gimana pun juga, Indonesia bukanlah tanah airnya.
"Di sini saya tamu. Saya tidak bisa menanam pohon, lantaran ini bukan tanah saya," ujarnya.
"Di Gaza, saya bisa kembali menanam pohon. Membantu Baba, memulai kehidupan dari nol."
- Israel melancarkan 'serangan besar-besaran' ke Gaza, 330 orang dilaporkan tewas
- Apa isi kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas dan tiga perihal lain nan perlu diketahui
- Mahkamah Pidana Internasional perintahkan penangkapan Netanyahu, Gallant, dan pemimpin Hamas atas dugaan kejahatan perang
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu