ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Di sebuah peron kereta di tengah kota nan tak begitu terkenal, saya memandang seorang laki-laki tua berdiri dengan tangan di dalam saku jaket lusuhnya. Dia menatap ke arah rel seolah menunggu sesuatu nan lebih dari sekadar kereta. Aku mengamatinya dari jauh, lampau beranjak memandang orang-orang lain di sekitar. Mereka semua sama—menunggu. Tapi tak ada nan betul-betul memikirkan tentang menunggu itu sendiri.
Kita sering berpikir bahwa hidup adalah soal tujuan—sampai di suatu tempat, mencapai sesuatu, menyelesaikan sesuatu. Kita hidup dalam bumi nan dipenuhi tenggat waktu, keberangkatan, dan kedatangan. Kita lupa bahwa sebagian besar hidup sebenarnya dihabiskan dalam ruang antara—di antara titik A dan titik B, di antara keputusan besar, di antara awal dan akhir.
Menunggu adalah keadaan nan kita anggap membosankan, apalagi menyiksa. Kita mau segera melewatinya. Tapi apa jadinya jika justru di dalam menunggu itu ada sesuatu nan berharga, sesuatu nan sering kita lewatkan?
Bukan Jeda
Di era nan didikte oleh kecepatan, menunggu terasa seperti kegagalan. Kita terbiasa dengan aplikasi nan membikin segalanya instan: makanan datang dalam hitungan menit, pesan terkirim dalam sepersekian detik, dan info apa pun tersedia dalam satu ketukan layar. Kita lupa bahwa dulu, waktu bekerja dengan langkah nan berbeda. Menunggu bukanlah jarak dari kehidupan—ia adalah kehidupan itu sendiri.
Penelitian terbaru dari Universitas Duke menemukan bahwa manusia semakin kehilangan toleransi terhadap ketidakpastian. Ketika kita dipaksa menunggu, otak kita bereaksi seolah-olah kita sedang menghadapi ancaman nyata. Hormon stres meningkat, debar jantung naik, dan kita mulai mencari langkah untuk mengalihkan perhatian. Kita membuka ponsel, menggulir tanpa tujuan, mencari distraksi nan bisa menyelamatkan kita dari kecanggungan menunggu. Tapi dalam upaya melarikan diri dari ketidakpastian itu, kita kehilangan sesuatu nan lebih penting—kemampuan untuk berada di dalam momen.
Dulu, ketika orang-orang tetap menulis surat dan menunggu jawaban selama berminggu-minggu, ada ruang untuk angan nan perlahan tumbuh. Menunggu bukan sekadar jeda, tetapi bagian dari proses nan membikin sesuatu lebih bernilai. Kini, dengan semuanya serba instan, kita kehilangan rasa manis dari antisipasi.
Melupakan Bagian TengahAku terkenang sebuah penelitian dari MIT tentang gimana manusia memproses waktu. Ternyata, kita lebih mudah mengingat awal dan akhir dari sebuah pengalaman, tetapi sering melupakan bagian tengahnya—bagian ketika kita menunggu. Ini masuk akal. Kita mengingat hari pertama kita masuk sekolah dan hari kelulusan, tapi tidak betul-betul mengingat hari-hari biasa di antaranya. Kita mengingat saat pertama kali jatuh cinta dan saat hubungan itu berakhir, tapi melewatkan sore-sore tanpa agenda, percakapan ringan nan tidak terlihat penting, alias momen-momen mini nan sebenarnya membangun kisah kita.
Padahal, ruang antara itu sering lebih berarti daripada nan kita kira. Dalam novel terbaik, justru bagian nan mengulur-ulur waktu—dialog nan tampaknya tak berujung, keheningan di antara kata-kata—yang membikin kisahnya terasa nyata. Film nan baik tidak hanya tentang klimaksnya, tetapi juga tentang gimana tokoh-tokohnya bergerak menuju titik itu. Hidup kita pun sama.
Tapi kita terobsesi dengan pergerakan. Kita mau maju. Kita mau sampai. Kita mau sesuatu terjadi. Kita tidak tahu gimana kudu bersikap dalam diam, dalam penantian.
Di Kyoto, ada sebuah kuil Zen nan terkenal dengan taman batunya—Ryoanji. Tak ada nan betul-betul "menarik" di sana, hanya susunan batu di atas pasir putih nan disapu rapi. Tapi orang-orang datang dari seluruh bumi untuk duduk tak bersuara di sana, hanya untuk memandang dan menunggu sesuatu terjadi—meskipun sebenarnya, tak ada nan terjadi.
Dalam budaya Jepang, ada konsep nan disebut ma—ruang kosong nan bukan berfaedah kehampaan, tetapi tempat di mana makna bisa muncul. Ma adalah jarak dalam percakapan nan memberi berat pada kata-kata. Ma adalah ruang antar-nada dalam musik nan membikin melodi terasa hidup. Ma adalah waktu menunggu nan justru memberi kedalaman pada pengalaman kita.
Kita terbiasa menganggap waktu menunggu sebagai waktu nan terbuang. Tapi mungkin, kita hanya belum belajar gimana menggunakannya. Makhluk nan Menunggu
Kita semua, pada akhirnya, adalah makhluk nan menunggu. Kita menunggu panggilan telepon, menunggu hasil kerja keras, menunggu seseorang kembali, menunggu sesuatu berubah. Kita menunggu hidup menjadi lebih baik, lebih jelas, lebih bermakna. Tapi gimana jika hidup ini sendiri sebenarnya adalah tentang menunggu?
Menunggu bukan hanya tentang bersabar. Ia adalah ruang di mana kita akhirnya bisa memandang diri kita sendiri—tanpa gangguan, tanpa ilusi mobilitas nan konstan. Jika kita berani tinggal dalam ruang itu, mungkin kita bakal menemukan sesuatu nan selama ini kita cari. Sesuatu nan hanya bisa muncul ketika kita berakhir berlari.
Adib Abadi kolumnis
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu