Menyerah Atau Eskalasi, Pilihan Sulit Dari Trump Buat Iran

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump awal minggu ini meminta Iran berakhir mendukung pemberontak Houthi di Yaman. Trump dengan tegas mengatakan, dia bakal meminta pertanggungjawaban Teheran atas serangan apa pun nan dilakukan oleh golongan milisi ini.

Houthi adalah milisi Syiah nan didukung Iran, nan jadi salah satu tokoh utama dalam perang kerabat di Yaman sejak 2014. Kelompok tersebut menguasai sebagian besar wilayah negara nan dilanda bentrok tersebut, termasuk ibu kota Sanaa.

"Setiap tembakan nan dilepaskan oleh Houthi, mulai saat ini, bakal dianggap sebagai tembakan nan dilepaskan dari senjata dan ketua Iran, dan Iran bakal bertanggung jawab, dan menanggung akibatnya, dan konsekuensinya bakal mengerikan!" tulis Trump di platform Truth miliknya.

Iran telah lama membantah mempunyai pengaruh terhadap pemberontak Houthi. Namun para mahir mengatakan sebaliknya.

Tanggapan AS atas serangan kapal jual beli oleh Houthi

"Bersama golongan pro-Iran di Irak, pemberontak Houthi adalah salah satu golongan proksi Iran nan tetap aktif di area tersebut," kata Hamidreza Azizi, mahir Iran di Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan (SWP).

"Berdasarkan pembicaraan di Iran nan saya ikuti, tampaknya beberapa kreator keputusan di Teheran mau Houthi bereaksi terhadap serangan AS dengan respons tegas dan tidak menunjukkan kelemahan," katanya.

Houthi mulai menyerang kapal-kapal di dekat Laut Merah dan Teluk Aden pada akhir 2023 sebagai jawaban atas serangan darat Israel di Gaza. Kelompok tersebut sejak itu diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat.

Setelah periode nan relatif tenang bertepatan dengan gencatan senjata di Gaza pada bulan Januari, minggu lampau Houthi mengumumkan melanjutkan serangan terhadap kapal-kapal Israel nan berlayar di wilayah tersebut. Hal ini mendorong Trump memerintahkan serangan baru terhadap Houthi selama akhir pekan.

Trump ancam perang atas program nuklir

Teheran sejauh ini belum menutup kemungkinan terlibat negosiasi tidak langsung dengan AS. Kedua negara tidak lagi punya hubungan diplomatik sejak 1980, tetapi ketua Iran tampaknya menyadari akibat saat ini.

Pada awal Maret, Trump mengatakan telah mengirim surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei nan mendesak perundingan baru tentang program nuklir negara itu dan memperingatkan kemungkinan tindakan militer jika inisiatif ini ditolak.

"Ada dua pilihan: tindakan militer alias solusi nan dinegosiasikan," kata Trump dalam wawancara dengan stasiun penyiaran AS, Fox Business Network. Teheran mengonfirmasi telah menerima surat Trump, tetapi tidak memberikan tanggapan resmi.

Ismail Baghai, ahli bicara Kementerian Luar Negeri Iran, pada hari Minggu (16/03) mengatakan, Teheran tetap memikirkan tanggapan. Pihak berkuasa Iran, tambahnya, tidak beriktikad mengungkapkan isi surat Trump.

"Sementara Khamenei terus menolak pembicaraan langsung dengan AS, Teheran tampaknya mau tetap membuka pintu untuk negosiasi tidak langsung," kata master Iran Azizi merujuk pada pernyataan terbaru Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi. Iran juga tengah mempertimbangkan komunikasi tidak langsung dengan Washington.

"Saya pikir Iran mau mengadakan pembicaraan dengan AS, tetapi tanpa prasyarat apa pun," katanya. "Dalam konteks ini, pentingnya pertemuan trilateral antara Iran, Cina, dan Rusia juga kudu ditekankan. Teheran mau mendapatkan support Rusia dan Cina untuk membatasi pembicaraan pada program nuklir dan sekaligus memberi sinyal kepada AS bahwa mereka punya mitra alternatif."

Beijing, Moskow pererat hubungan dengan Teheran

Minggu lalu, diplomat senior dari Iran, Rusia, dan Cina menggelar sebuah pembicaraan di Beijing. Di sana, Moskow dan Beijing mendukung Teheran, dan menggambarkan hukuman Barat terhadap Iran sebagai "ilegal."

Mereka juga menyerukan peningkatan upaya diplomatik, untuk menyelesaikan bentrok atas program nuklir Iran.

Selama masa kedudukan presiden pertama Trump, AS secara sepihak menarik diri dari perjanjian nuklir internasional 2015 dengan Iran. Setahun setelah mundurnya AS, Teheran memperluas penelitian nuklirnya secara bertahap.

Banyak nan percaya bahwa negara itu sekarang lebih dekat dari sebelumnya untuk membangun senjata nuklir.

Kekhawatiran eskalasi bentrok meningkat

Menurut Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Iran telah meningkatkan jumlah uranium nan diperkaya tinggi ke tingkat nan berbahaya, sehingga membuka kesempatan penggunaan oleh militer.

Badan tersebut mengatakan, tidak ada penggunaan untuk sipil nan andal untuk uranium nan diperkaya hingga 60%.

"Iran adalah satu-satunya negara non-nuklir nan memperkaya senjata nuklirnya hingga tingkat ini, nan membikin saya sangat khawatir," kata kepala jenderal IAEA Rafael Grossi di awal Maret.

Teheran terus bersikeras bahwa program nuklirnya ditujukan untuk faedah sipil.

"Sejak berakhirnya masa kedudukan presiden Hassan Rouhani pada tahun 2021, Iran semakin mengandalkan ancaman dan penggunaan program nuklirnya sebagai daya tawar," kata Behrooz Bayat, mantan penasihat IAEA, kepada DW.

"Jika strategi ini dilanjutkan, mungkin bakal ada eskalasi lebih lanjut. Langkah seperti itu bakal sangat berisiko. Namun, itu tidak dapat sepenuhnya dikesampingkan," tambahnya. "Minggu-minggu mendatang bakal menentukan. Baik negosiasi alias konfrontasi, respons Teheran bakal berakibat serius pada perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah."

Diadaptasi dari tulisan DW berkata Jerman

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu