ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Menghadapi para tersangka kasus terorisme umumnya para interogator menghindari melakukan kekerasan dalam upaya mengorek informasi. Pendekatan nan lebih lembut dan relasi kemanusiaan, kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Eddy Hartono, condong lebih berhasil.
Ia merujuk pengalamannya saat tetap menjadi interogator di Densus 88 Antiteror dengan pangkat AKBP. Kala itu ada petinggi Jamaah Islamiyah (JI) nan ditangkap tapi selama tiga hari tiga malam tak mau bicara sepatah kata pun.
"Hingga dalam sebuah kesempatan kami menjadi makmum salat berjemaah dan mempersilakan dia menjadi imamnya," kata Eddy mengenang dalam aktivitas peluncuran kitab 'Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah' karya Dr Noor Huda Ismail di Perpustakaan Nasional, Kamis (27/2/2025).
Sejak saat itu, dia melanjutkan, si petinggi JI mulai mau buka mulut. Eddy sendiri mengaku bukan mahir kepercayaan dan tak berdebat soal itu. Hanya, sebagai abdi negara penegak hukum, dirinya bertanggung jawab menegakkan undang-undang.
Dalam perjalanannya kemudian, JI dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Belakangan banyak pentolannya nan ditangkap dan diadili. Pada 21 Desember 2024, sekitar 1.400 perwakilan mantan personil JI menyampaikan deklarasi pembubaran diri dan menyatakan kesiapannya kembali ke pangkuan NKRI. Mereka juga menyatakan komitmen mengikuti peraturan norma nan bertindak di Indonesia.
"Mereka berkomitmen secara syar'i berdasar kesadaran dan kajian di antara mereka sendiri tak punya dasar dan tak ada gunanya memerangi pemerintah. Jadi, mereka tanpa rekayasa kembali ke NKR lantaran sadar pemerintah bukan thogut. Buktinya mereka merasakan sendiri tetap bebas melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama," kata Eddy, nan memimpin BNPT sejak September 2024.
Kepala BNPT Komjen Eddy Hartono saat memberi sambutan aktivitas peluncuran kitab 'Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah' karya Dr. Noor Huda Ismail di Perpustakaan Nasional (Sudrajat/)
Sebelumnya lulusan Akademi Kepolisian pada 1990 itu pernah menjadi Penyidik Muda Subdirektorat V/Siber Direktorat Tindak Pidana Eksus Bareskrim Polri pada 2009. Dari situ dia kemudian berkarier di lingkungan Densus 88 Antiteror hingga menjadi Wakil Komandan Densus 88 pada 2017, lampau berkecimpung di BNPT.
Pada bagian lain, Eddy menegaskan pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) sepanjang 2024 telah memutus akses 3.000 akun media sosial nan mengenai dengan radikalisme. Mayoritas akun tersebut berada di platform Facebook, Telegram, dan sebagainya. bekerja-sama dengan TNI, Polri, BIN, dan lembaga mengenai lainnya tetap melakukan pemantauan cikal bakal tindakan terorisme, utamanya dari mengerti radikalisme.
"Di tengah rumor efisiensi anggaran pun, kami tetap bahu-membahu untuk senantiasa siaga melakukan pencegahan," kata Eddy.
Secara unik laki-laki kelahiran Blora, Jawa Tengah, pada 16 Mei 1967 itu mengapresiasi kitab 'Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah' dan movie 'Road to Silence' produksi organisasi Kreasi Prasasti Perdamaian nan diprakarsai Noor Huda Ismail. Kedua karya tersebut bisa menjadi edukasi dan literasi terhadap masyarakat nan rentan terpapar mengerti radikal terorisme.
"Buku dan movie ini membantu kami untuk melakukan kontra-radikalisasi dan kampanye radikal terorisme," ujarnya.
(jat/dek)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu