Brain Rot Di Tengah Ledakan Tiktok

Sedang Trending 6 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Setiap pagi, sebelum membuka mata sepenuhnya, Salma Putri Ramadhani sudah mengulurkan tangan ke meja samping tempat tidurnya. Bukan untuk segelas air, bukan pula untuk menyentuh wajah suaminya nan tetap lelap, melainkan untuk sebuah smartphone nan sekarang seperti perpanjangan dari tubuhnya. Jari-jarinya sudah hafal aktivitas membuka layar, masuk ke TikTok, dan mulai menggulir tanpa berpikir. Kadang video lucu, kadang resep simpel, kadang buletin politik, semua mengalir tanpa urutan, tanpa waktu nan jelas.

"Aku hanya mau lihat sebentar, lima menit, lah. Tapi tahu-tahu sudah satu jam. Bahkan bisa lebih," kata Salma, wanita berumur 35 tahun, seorang freelancer asal Depok.

Awalnya, TikTok adalah pengusir sepi. Tapi kini, aplikasi itu menjadi kediaman harian. Bahkan untuk sekadar mencari arti alias info ringan, Salma tak lagi membuka Google. “Lebih sigap lihat TikTok aja, banyak nan jelasin singkat pakai bunyi lucu, jadi gampang ngerti,” jelasnya.

Namun belakangan, Salma mulai merasa ada nan berubah dalam dirinya. Ia makin sering lupa hal-hal sederhana, kata-kata dalam percakapan, buahpikiran konten nan baru terpikirkan sejam lalu, apalagi lupa letak barang. nan paling terasa, dia kesulitan untuk duduk tak bersuara dan membaca sesuatu nan panjang. “Buka arsip kerjaan lebih dari dua laman aja langsung pusing. Rasanya mau sigap selesai, tapi otak nolak,” katanya.

Fenomena nan dialami Salma dikenal dengan istilah brain rot alias pembusukan otak. Istilah ini mendadak terkenal dan apalagi dinobatkan sebagai Word of The Year 2024 oleh Oxford University. Menurut catatan mereka, istilah ini mencerminkan realitas budaya digital saat ini, masa ketika banyak orang merasakan penurunan kapabilitas kognitif, seperti susah fokus, rentang perhatian menyusut, dan kelelahan mental akibat konsumsi konten instan.

Dr. Andreana Benitez, pengajar di departemen neurologi Medical University of South Carolina, menyebutnya sebagai ‘junk food untuk otak’. Sama seperti makan keripik nan membikin kenyang tapi tidak menyehatkan, konten instan nan dikonsumsi berjam-jam dapat membikin otak kehilangan keahlian berpikir dalam dan reflektif.

Ardi Wijaya, 21 tahun, mahasiswa kreasi komunikasi visual di salah satu kampus swasta di Jakarta Barat, menyebut dirinya sebagai korban ‘otak keropos digital’. Ia sadar betul bahwa sejak pandemi, dunianya beranjak ke layar, kelas online, tugas, hiburan, semuanya dari satu gawai nan sama. Tapi sejak TikTok menjadi bagian dari rutinitasnya, dia merasa kemampuannya menyerap info mulai berubah.

“Gara-gara TikTok, konsentrasi saya nggak bisa lama. Nonton video panjang jadi capek, baca tulisan lebih dari tiga paragraf rasanya berat,” ujarnya.

Dalam wawancara dengan TODAY, Marci Cottingham, guru besar sosiologi di Kenyon College, menggambarkan pengalaman pribadi nan serupa. “Saya mengalami emosi ini setelah berjam-jam menonton TikTok,” katanya. Cottingham menyebut brain rot sebagai respons sosial atas situasi budaya saat ini, ketika orang merasa kehilangan arah untuk bertindak secara perseorangan alias kolektif.

Laporan We Are Social dan Meltwater 2024 menyebut Indonesia sebagai negara dengan jumlah pengguna TikTok terbesar kedua di dunia, sebanyak 107 juta orang berumur di atas 18 tahun, hanya kalah dari Amerika Serikat. Dan tak tanggung-tanggung, pengguna aktif di Indonesia menghabiskan rata-rata 44 jam 54 menit per bulan hanya untuk menonton di TikTok lewat Android.

Tak heran, platform ini menjadi medan utama brain rot menyebar. Dalam studi nan dipublikasikan oleh jurnal Brain Sciences awal 2025, ditemukan bahwa konsumsi media sosial secara berlebihan, ditambah waktu layar (screen time) nan ekstrem, bisa memicu gejala-gejala seperti kabut otak, kehilangan memori jangka pendek, ketidakmampuan fokus, dan kecenderungan untuk mencari kepuasan instan.

“Rasanya seperti otak saya dilatih untuk berpikir sigap tapi dangkal,” ujar Ardi. Ia apalagi pernah mencoba puasa gadget selama satu hari. Tapi alih-alih merasa segar, dia justru resah dan tak tahu kudu mengisi waktu dengan apa. "Buku kuliah dibuka, langsung menguap. Kalau buka TikTok, meskipun enggak ngapa-ngapain, otak kayak terhibur."

Sayangnya, akibat brain rot bukan hanya soal malas membaca alias mudah lupa. Di bumi pendidikan, kejadian ini mulai terasa mengikis motivasi belajar siswa. Nur Islamiah, PhD, psikolog dari IPB University, menjelaskan bahwa siswa nan terbiasa mengonsumsi konten instan mengalami penurunan motivasi dalam tugas akademik nan menuntut proses berpikir mendalam.

“Ketika otak terus-menerus menerima rangsangan dari media sosial alias konten hiburan, aktivitas belajar nan lebih tetap terasa membosankan dan kurang menarik,” katanya dikutip dari laman IPB. Ia menambahkan, siswa jadi lebih menyukai aktivitas nan memberikan kepuasan instan, daripada proses belajar nan memerlukan ketekunan.

Fenomena brain rot juga menghantui anak-anak nan tetap dalam masa perkembangan otak. Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq apalagi menyebut tsunami digital sebagai ancaman nyata untuk generasi usia dini. Ia menyebut bahwa 33,4% anak usia 0-6 tahun sudah terbiasa menggunakan gawai, dan nomor ini melonjak pada anak usia 5-6 tahun hingga 52%.

“Kita sedang menghadapi tantangan besar. Brain rot ini bisa mengikis stimulasi intelektual, emosional, dan sosial anak sejak dini,” ujar Fajar dalam sebuah aktivitas PAUD Holistik Integratif.

Peneliti dari IPB, Melly Latifah, juga menambahkan bahwa anak-anak nan kecanduan gawai menunjukkan perilaku seperti susah melepaskan diri dari layar, mudah marah saat dibatasi, dan mengabaikan aktivitas berfaedah lain seperti bermain alias membaca buku.

Namun, apakah semua konten digital kudu dihindari? Tidak juga. Menurut Dr. Constantino Iadecola dari Weill Cornell Medical Centre, konten digital tidak semuanya buruk, selama digunakan dengan seimbang dan diarahkan ke aktivitas imajinatif dan edukatif. Tapi dia menegaskan bahwa otak manusia, terutama nan tetap berkembang, memerlukan pengalaman nyata. Sentuhan, emosi, mobilitas fisik, dan hubungan langsung. Tanpa itu, otak bisa kehilangan sebagian kegunaan pentingnya.

Seperti junk food, kata Andreana Benitez, konsumsi layar boleh saja sesekali. Tapi jika terlalu sering, maka kita bukan hanya membuang waktu, melainkan juga daya pikir. Dan seperti Ardi nan sekarang sedang berupaya kembali membaca kitab lebih dari sepuluh halaman, alias Salma nan mencoba membatasi waktu TikTok hanya di malam hari, mungkin kita semua memang kudu mengingat bahwa otak juga butuh istirahat. Bukan hanya dari lelah, tapi dari keterpakuan pada hal-hal instan nan seolah membikin kita sibuk, padahal otak kita tidak betul-betul bekerja.