Ai, Guru, Dan Masa Depan Pendidikan

Sedang Trending 7 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Kualitas pendidikan kita semakin menurun. Di tengah situasi demikian, kehadiran Kecerdasan Buatan (AI) dapat membawa akibat positif maupun akibat negatif. Maka pertanyaannya, gimana kita memanfaatkan kehadiran AI, dan peran pembimbing untuk masa depan pendidikan kita?

Satu topik nan kian mendesak dalam bumi pendidikan kita adalah kehadiran Kecerdasan Buatan (AI). Tanpa kita sadari, AI telah meresap begitu dalam ke dalam kehidupan sehari-hari-mulai dari rekomendasi tontonan hingga navigasi perjalanan.

Tapi bagi kita, para pendidik, pertanyaannya lebih mendalam: Apakah AI bakal menurunkan kualitas pendidikan, khususnya dalam mengasah daya kritis siswa, alias justru menjadi perangkat revolusioner nan memperkuatnya?

AI: Pedang Bermata Dua dalam Pendidikan

AI menjanjikan banyak perihal nan luar biasa. Bayangkan, personalisasi pembelajaran nan sebelumnya hanya mimpi sekarang menjadi mungkin. AI bisa menganalisis style belajar, kecepatan, dan kebutuhan unik setiap siswa, sehingga materi pembelajaran bisa disesuaikan secara real-time. Hal ini membuka jalan bagi pembelajaran nan lebih efektif dan bermakna.

Di sisi lain, pembimbing pun dapat terbantu dengan automasi beragam tugas administratif seperti penilaian, penjadwalan, hingga pelaporan. Waktu nan semula tersita sekarang dapat dialihkan untuk membimbing siswa secara lebih mendalam dan membangun hubungan nan lebih manusiawi.

AI juga membuka akses nan lebih luas bagi siswa di wilayah terpencil maupun mereka nan mempunyai kebutuhan khusus. Dengan teknologi pembaca layar, terjemahan otomatis, dan tutor virtual 24/7, halangan geografis dan keterbatasan bentuk dapat ditekan.

Bahkan, melalui kajian info besar, AI dapat memberi kita wawasan nan lebih tajam tentang pola belajar siswa, membantu pembimbing dan sekolah mengambil keputusan berbasis data.

Namun, seiring dengan potensi cerah itu, terselip pula sisi gelap nan patut diwaspadai.

Ancaman Tersembunyi: Mengikis Daya Kritis dan Etika

Kekhawatiran utama adalah akibat menurunnya daya kritis siswa. Otak manusia, sebagaimana otot, perlu dilatih secara konsisten. Ketika kita terlalu berjuntai pada kalkulator, keahlian berbilang menurun.

Ketika siswa terlalu sering menyerahkan proses berpikir pada AI, proses kognitif mereka pun bisa melemah--sebuah kejadian nan dikenal sebagai cognitive offloading.

Siswa bisa terjebak menjadi konsumen pasif informasi, menerima begitu saja jawaban dari AI tanpa mempertanyakan sumber, bias, alias validitasnya. Ini berbahaya, lantaran model AI dilatih menggunakan info besar nan tidak lepas dari bias algoritmik, dan bisa memperkuat "ruang gema" (echo chamber) nan mengkerdilkan keberagaman pandangan.

Selain itu, penggunaan AI dalam pendidikan melibatkan pengumpulan info siswa dalam jumlah besar. Pertanyaannya: gimana info ini dikumpulkan, disimpan, dan digunakan?

Tanpa kebijakan etis dan perlindungan info nan kuat, kerentanan terhadap penyalahgunaan sangat besar.

Masalah plagiarisme pun tak kalah serius. AI generatif seperti ChatGPT bisa digunakan untuk membikin esai alias tugas secara instan. Jika tidak disikapi dengan bijak, integritas akademik--pilar utama pendidikan--bisa runtuh perlahan.

Dan nan tak kalah penting: AI tidak bisa menggantikan sentuhan manusia. Hubungan guru-siswa, hubungan antarsiswa, dan pengalaman belajar nan melibatkan empati, nilai, dan emosi tetap menjadi inti dari pendidikan sejati.

Solusi: AI sebagai Mitra, Bukan Pengganti

Lantas, haruskah kita menolak AI? Tentu tidak. Justru tantangan ini menjadi kesempatan untuk memperkuat peran pembimbing dan menata ulang paradigma belajar.

Pertama, AI sebagai perangkat bantu, bukan pengganti otak. Kita perlu membekali siswa dengan keahlian berpikir kritis, bukan sekadar keahlian mencari jawaban. AI sebaiknya digunakan untuk mempercepat pencarian info alias membantu tugas-tugas teknis, tetapi pengambilan keputusan tetap kudu berpijak pada logika manusia.

Kedua, literasi AI untuk semua. Baik pembimbing maupun siswa perlu memahami langkah kerja AI, bias nan mungkin terkandung di dalamnya, serta pentingnya pertimbangan informasi. Literasi ini kudu menjadi bagian dari kurikulum masa depan.

Ketiga, melatih daya kritis melalui AI. Dorong siswa untuk bertanya, menguji, dan mendebat jawaban nan diberikan AI. Jadikan AI sebagai pemantik diskusi, bukan pemadam pemikiran.

Keempat, kebijakan nan kuat dan adaptif. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu merumuskan kebijakan nan melindungi kewenangan siswa, mengatur etika penggunaan AI, dan menyiapkan perangkat untuk menjaga integritas akademik.

Kelima, pembimbing tetap sentral. Di tengah derasnya gelombang teknologi, peran pembimbing justru semakin strategis. Guru adalah penyedia pembelajaran nan membimbing, menginspirasi, dan membentuk karakter. AI tidak bisa menggantikan peran ini.

AI adalah kenyataan, bukan sekadar wacana masa depan. Ia bisa menjadi sekutu terbaik pendidikan, alias ancaman tersembunyi nan mengikis prinsip belajar itu sendiri. Masa depan pendidikan ada di tangan para guru: akankah kita membiarkan teknologi mendikte arah belajar, alias justru mengarahkan teknologi untuk memperkuat kemanusiaan?

Dengan kesadaran kritis, literasi teknologi, dan komitmen pada nilai-nilai pendidikan sejati, kita bisa memastikan bahwa AI menjadi kekuatan transformatif nan memperkuat-bukan menggantikan-peran pembimbing dan martabat pendidikan.

Pormadi Simbolon. Pemerhati Pendidikan dan kebudayaan, Pembimas Katolik Kanwil Kemenag Provinsi Banten.

(imk/imk)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini