2 September 1945: Saat Kejaksaan Lahir Bersama Republik

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Tanggal 2 September tidak lagi bisa dilewatkan begitu saja sebagai tanggal biasa. Hari ini, bangsa Indonesia akhirnya mempunyai kepastian historis bahwa pada tanggal inilah Kejaksaan Republik Indonesia lahir. Selama puluhan tahun, banyak orang tetap keliru memahami 22 Juli sebagai hari lahir kejaksaan.

Padahal 22 Juli adalah Hari Bhakti Adhyaksa nan ditetapkan tahun 1960 untuk menandai pemisahan kejaksaan dari Kementerian Kehakiman. Tanggal itu dicatat sebagai simbol dedikasi kejaksaan kepada pemerintah, tetapi bukan hari kelahiran. Kelahiran sejati kejaksaan terjadi jauh sebelumnya, pada 2 September 1945, ketika Presiden Soekarno melantik Jaksa Agung pertama, Mr. Gatot Taroenamihardja, hanya beberapa hari setelah proklamasi.

Penetapan 2 September sebagai Hari Lahir Kejaksaan baru dikukuhkan pada 2023 melalui Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 196. Keputusan ini tidak muncul begitu saja, melainkan hasil kerja panjang riset dan penelusuran sejarah. Ketika menempuh studi doktoral di Universitas Leiden, saya menemukan sejumlah arsip lama nan memperlihatkan kesinambungan peran jaksa sejak abad ke-19.

Dari sana saya menelusuri bahwa pada awal kemerdekaan, posisi kejaksaan sudah diperdebatkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945, sebelum akhirnya ditegaskan dengan pelantikan Jaksa Agung pada 2 September. Gatot, nan juga lulusan doktoral Leiden, bukan sekadar pejabat teknis.

Ia memimpin kejaksaan sekaligus kepolisian dan memberi petunjuk agar keamanan rakyat dijaga dalam menghadapi ancaman agresi militer Belanda. Kejaksaan sejak awal datang bukan hanya sebagai pelayan manajemen hukum, melainkan sebagai garda depan republik muda.

Sejarah mencatat bahwa Jaksa Agung kedua, Kasman Singodimedjo, merangkap Panglima Badan Keamanan Rakyat dan memerintahkan kepolisian membebaskan tahanan pribumi untuk memperkuat barisan revolusi.

Jaksa Agung Tirtawinata menolak menggunakan norma aktivitas Jepang nan represif dan memilih HIR sebagai norma aktivitas pidana Indonesia, dengan tegas menyatakan republik tidak boleh menjadi negara polisi. Dari ketiga Jaksa Agung pertama ini, jelas terlihat bahwa lembaga kejaksaan adalah bagian dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan, bukan sekadar birokrasi hukum.

Yang menarik, pada masa itu kejaksaan ditempatkan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman. Jaksa dipandang sebagai magistraat, pejabat peradilan nan independen, berdiri sejajar dengan hakim. Konsep ini tercermin dalam UU No. 19/1948 maupun UU Darurat No. 1/1951, nan menegaskan kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan, bukan organ eksekutif.

Dengan kedudukan itu, jaksa tidak hanya bekerja menuntut, tetapi juga mempunyai integritas sebagai pejabat peradilan nan bebas dari intervensi pemerintah. Semangat inilah nan menjadikan kejaksaan di masa awal revolusi tidak terpisahkan dari cita-cita negara norma nan demokratis.

Kebingungan publik soal hari lahir kejaksaan muncul lantaran narasi 22 Juli lebih dominan.

Namun penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa 2 September adalah injakan sejarah nan sesungguhnya. Bersama sejarawan Iip D. Yahya, saya menemukan kebenaran ini melalui telaah arsip dan arsip resmi. Sebelumnya, kami juga sukses menelusuri Hari Lahir Persatuan Jaksa Indonesia (PERSAJA) pada 6 Mei 1951, ketika jaksa-jaksa untuk pertama kalinya berkongres membentuk organisasi profesi.

Temuan-temuan ini kemudian dibawa ke forum resmi, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin meminta kami berbareng tim lain merumuskan penetapan hari lahir kejaksaan agar lembaga ini mempunyai injakan historis nan jelas. Dengan demikian, sejarah nan tadinya kabur akhirnya diluruskan.

Selepas fase revolusi, kejaksaan memasuki masa kerakyatan parlementer. Tokoh krusial pada periode ini adalah Jaksa Agung R. Soeprapto nan menjabat 1950-1959. Di bawah kepemimpinannya, kejaksaan mengalami reorganisasi besar-besaran. Soeprapto aktif merekrut sarjana norma terbaik, membangun sistem supervisi terhadap surat dakwaan dan tuntutan, serta menjaga independensi jaksa dari intervensi politik.

Catatan Herbert Feith dan Daniel S Lev menyebut masa ini sebagai salah satu periode keemasan peradilan pidana Indonesia. Kejaksaan berani menyidik dan menuntut perwira tinggi militer serta menteri nan terlibat kasus korupsi. Pada era ini, kejaksaan betul-betul tampil sebagai lembaga independen, berintegritas, dan berani, sehingga menjadi contoh bahwa independensi bukan hanya jargon, melainkan praktik nyata.

Mengapa fase Soeprapto krusial untuk kita ingat saat memperingati Hari Lahir Kejaksaan? Karena dia menunjukkan bahwa kejaksaan tidak hanya lahir dari semangat revolusi, tetapi juga bisa dewasa dan berdiri tegak menghadapi bujukan politik. Jika pada masa kerakyatan parlementer nan rentan sekalipun kejaksaan bisa bebas intervensi, semestinya di era kerakyatan konstitusional hari ini lembaga nan sama bisa lebih berani menjaga integritas.

Dalam kondisi politik sekarang, ketika tarik-menarik kepentingan begitu kuat dan publik sering meragukan independensi penegakan hukum, mengingat 2 September menjadi semakin relevan. Ia mengingatkan bahwa kejaksaan lahir untuk menjaga hukum, bukan melayani kekuasaan. Gatot, Kasman, Tirtawinata, hingga Soeprapto memberi teladan bahwa kejaksaan bisa tampil sebagai lembaga nan berpihak pada rakyat dan negara hukum, bukan pada rezim semata.

Peringatan 2 September hendaknya tidak berakhir pada seremoni. Ia kudu menjadi refleksi mendalam bahwa kejaksaan punya akar sejarah nan kuat dan teladan moral nan jelas. Penghargaan seperti Adhyaksa Awards nan diberikan setiap tahun kepada jaksa teladan boleh saja menjadi pelengkap, sekadar penanda bahwa integritas tetap dirayakan. Tetapi jauh lebih krusial dari penghargaan adalah gimana seluruh lembaga meneladani semangat 2 September, menegakkan norma dengan berani, jujur, dan tanpa kompromi.

Semangat jaksa sebagai magistraat nan independen sesungguhnya tidak pernah hilang. Ia sekarang kembali ditegaskan dalam UU Kejaksaan 2021. Undang-undang ini menyebut bahwa jaksa adalah Aparatur Sipil Negara dengan kekhususan. Rumusan ini menyesuaikan kerangka norma kepegawaian modern, tetapi sekaligus menegaskan kembali jati diri jaksa sebagai pejabat dengan kedudukan khusus, bukan birokrat biasa. Artinya, sejak masa revolusi hingga hari ini, kejaksaan selalu diposisikan sebagai lembaga dengan corak unik: terikat dengan manajemen negara, tetapi tetap dituntut menjaga independensi sebagai bagian dari sistem peradilan.

Peringatan Hari Lahir Kejaksaan ke-80 tahun ini kudu dilihat bukan sekadar upacara formal. Ia adalah momentum untuk mengingatkan jaksa-jaksa muda bahwa mereka mewarisi tradisi panjang independensi, integritas, dan keberanian. Dari riset arsip di Leiden, dari penemuan Hari Lahir Kejaksaan dan PERSAJA, hingga teladan Jaksa Agung Gatot, Kasman, Tirtawinata, dan Soeprapto, satu pesan besar dapat ditarik. Kejaksaan adalah lembaga nan lahir dari perjuangan, tumbuh dalam revolusi, dan pernah mencapai masa keemasan lantaran independensi.

Tugas kita hari ini adalah memastikan sejarah itu bukan sekadar kenangan, melainkan menjadi pedoman. Di tengah politik nan goyah, di saat kepercayaan publik pada norma diuji, memperingati 2 September adalah langkah sederhana sekaligus mendalam untuk menjaga agar republik tidak kehilangan tiang penyangganya.

Fachrizal Afandi. Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya.

(rdp/rdp)